Setelah makan makanan manis seperti cokelat batangan atau es krim, mungkin Anda merasa senang, atau penuh energi. Kondisi ini biasa disebut sugar rush. Namun, perasaan itu hanya sesaat. Jika Anda melakukan kebiasaan tersebut terus menerus, bukan hanya gula darah yang terganggu, tetapi juga kesehatan mental Anda.
Bagaimana kedua hal itu berhubungan? Simak penjelasannya berikut, Sahabat Sehat.
Pernahkah Anda merasa bahagia, lalu merayakannya dengan makan-makan? Juga, pernahkah Anda merasa sedang sedih atau stres, lalu ingin sekali makan makanan favorit Anda? Nah, Sahabat Sehat, kira-kira seperti itulah hubungan emosi dan makanan.
Sayangnya, saat keinginan makan dipengaruhi emosi, pilihan seseorang jatuh ke makanan kurang sehat, baik makanan tinggi gula maupun tinggi karbohidrat.
Setelah masuk ke tubuh, gula memecah karbohidrat menjadi glukosa, yang kemudian disebar ke sel-sel sebagai energi. Terlalu banyak energi akan menimbulkan masalah, karena tanpa disadari, Anda membuat tubuh kecanduan gula.
Saat mengonsumsi gula, Anda melepaskan banyak hormon dopamin atau hormon perasaan senang. Saat Anda mengonsumsi makanan manis dalam jumlah banyak, tubuh Anda mulai membuat perubahan kimiawi tertentu, yang menyebabkan meningkatnya keinginan akan gula. Ketika Anda tidak mendapatkannya, Anda merasa cemas, mudah tersinggung, rendah diri, dan depresi berat.
Hal ini semakin memperburuk karena rasa senang yang diberikan hanya sementara, sehingga membuat Anda merasa butuh gula lagi dan lagi.
Penelitian yang dilakukan oleh The British Journal of Psychiatry membuktikan bahwa peserta yang mengonsumsi lebih banyak karbohidrat olahan telah mengalami depresi selama lima tahun.
Menurut penelitian lain, yang diterbitkan dalam jurnal Science Reports, wanita lebih rentan mengalami gangguan mental dan depresi, yang disebabkan oleh peningkatan asupan gula.
Baca juga: Tips Mengelola Stres bagi Diabetesi
Seorang psikolog klinis dari Delhi, India, Dr. Bhavna Barmi, mengatakan bahwa makanan memiliki pengaruh besar terhadap suasana hati dan emosi. Gula bisa meningkatkan risiko memicu gangguan mood dan depresi karena gula bisa meningkatkan peradangan dalam tubuh, yang sangat terkait dengan depresi.
Gejala umum peradangan dan depresi antara lain kelelahan, kurang fokus, kehilangan nafsu makan, dan perubahan pola tidur.
Selain baik untuk kesehatan fisik, memantau kadar gula darah dan menjalani gaya hidup sangat penting untuk mengatasi depresi. Jika Anda tak menjaga kadar gula darah, respons insulin pun menjadi naik-turun. Fluktuasi insulin ini bisa menyebabkan gangguan metabolisme dan bisa memicu depresi.
Namun, menjaga kadar gula darah kadang juga bisa menimbulkan depresi karena Anda merasa bosan, terlalu banyak yang harus dilakukan, atau selalu mengkhawatirkan kondisi diabetes Anda. Untuk mengatasinya, Anda bisa menenangkan diri sejenak, ingat kembali berbagai pencapaian Anda dalam mengelola diabetes, dan curhatlah kepada orang terdekat. Cari cara yang paling pas untuk Anda, asalkan depresi ini tidak mengarahkan Anda ke makanan manis.
Sahabat Sehat, itulah penjelasan mengapa terlalu banyak mengonsumsi gula bisa memengaruhi kesehatan mental Anda. Namun, selain makanan manis yang mengandung glukosa, makanan asin atau gurih pun bisa mengandung banyak glukosa dan berdampak sama terhadap otak.
Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana makanan atau minuman itu diolah, dan apa bahan-bahan di dalamnya. Jika ingin menjadikan rasa manis sebagai ‘pelarian’, pilihlah sumber gula alami seperti buah-buahan, atau gunakan pemanis pengganti gula yang aman bagi gula darah.
Diabetasol No Calorie Sweetener bisa menjadi pemanis bagi resep favorit Anda, baik minuman ataupun makanan. Diabetasol Sweetener mengandung nol kalori sehingga aman bagi gula darah. Rasa manisnya 600 kali dibanding gula pasir, serta rasanya stabil pada suhu dingin dan panas. Jadi, Anda tetap bisa merasakan manis tanpa khawatir lonjakan gula darah, ataupun depresi.
Baca juga: Cara Menghilangkan Stres Saat New Normal bagi Penderita Diabetes
Sumber :
healthshots.com
diabetes.org.uk
Jurnal “Current Psychiatry”, Juni 2013